Jumat, 13 Juli 2012

Sungguh, perbedaan itu adalah RahmatNya :)


Pelajaran Khilafiyah Dari Hasan Al-Banna

 Hasan Al-Banna punya sebuah majelis
 taklim. Majelis ilmu itu dilaksanakan di sebuah masjid
 pada malam hari. Jama'ah pengajian itu semakin hari
 semakin membludak saja. Maklum, tutur kata ustadz muda
 itu begitu menyentuh jiwa.

 Suatu hari, Hasan Al-Banna merasakan
 adanya nuansa aneh di majelis taklimnya. Jama'ah
 pengajiannya duduk berkelompok. Ada dua kelompok
 besar. Masing-masing mengambil jarak. Sebelum lagi
 Hasan Al-Banna memulai acara taklimnya, tiba-tiba
 sebuah pertanyaan mengejutkannya. Sebenarnya nada
 pertanyaan itu datar saja, tapi hati Hasan Al-Banna
 yang begitu peka menangkap sebuah pesan yang besar
 dalam pertanyaan itu.
 "Bagaiman pendapat ustadz mengenai
 tawassul?" Sang guru yang ditanya terdiam sejenak.
 Ditatapnya si penanya. Disapunya satu per satu hadirin
 yang menatapnya dengan raut wajah menunggu.
 "Wahai saudaraku," sapa Hasan Al-Banna jernih kepada
 si penanya. "Saya yakin engkau tidak hanya bertanya
 tentang  tawasul saja. Engkau juga ingin bertanya
 tentang membaca salawat setelah azan, membaca Al Kahfi
 di hari Jumat, mengucap kata sayyidina dalam tasyahud,
 juga tentang membaca Alquran yang pahalanya ditujukan
 untuk mayit seseorang."
 Jama'ah majelis taklim itu kaget. Guru
 mereka bisa membaca isi pikiran mereka. Dan Hasan
 Al-Banna memang sengaja mengungkap beberapa masalah
 khilafiyah yang sedang mereka ributkan. Masalah itulah
 yang membuat murid-muridnya duduk
 berkelompok-kelompok.
             "Ya, benar. Saya memang ingin jawaban
 tentang itu semua," ujar si penanya tadi. Hasan
 Al-Banna menatapnya lembut. "Wahai saudaraku, saya ini
 bukan ulama. Hanya guru biasa yang hafal sebagian
 ayat-ayat Alquran, hadits, dan hukum-hukum
 agama yang saya baca dari beberapa kitab, lalu saya
 mengajarkannya kepada kalian. Jika engkau membawaku
 keluar dari lingkup itu, berarti kalian telah
 membuatku mengalami kesulitan," ungkap Hasan Al-Banna
 jujur.
             "Oleh karenanya, jika apa yang akan saya
 katakan dapat memuaskanmu, itulah yang saya inginkan
 dan silakan mendengarkan. Namun, jika engkau
 menginginkan jawaban dan pengetahuan yang lebih luas,
 maka tanyakanlah kepada
 selainku. Tanyakan kepada para ulama yang ahli.
 Merekalah yang mampu memberikan fatwa kepadamu
 mengenai apa yang engkau inginkan itu. Adapun saya,
 hanya inilah kapasitas keilmuan yang saya miliki.
 Allah tidak membebani seorang hamba melainkan sebatas
 kesanggupannya," lanjut Hasan Al-Banna.
             Rupanya, ungkapan merendah Hasan Al-Banna
 itu berhasil mencairkan suasana kaku yang tercipta di
 antara hadirin. Mereka tampak lega dengan apa yang
 dikatakan guru mereka. Melihatnya, diam-diam Hasan
 Al-Banna bertahmid kepada Allah swt. Nalurinya sebagai
 pendidik tergugah. Ini saat yang tepat untuk memberi
 pelajaran yang lebih kepada murid-muridnya.
             "Wahai saudaraku sekalian, saya sebenarnya
 tahu betul kemana arah pertanyaan tadi. Kalian ingin
 tahu saya ini termasuk kelompok Syeikh Musa atau
 Syeikh Sami. Ketahuilah, hal ini sama sekali tak
 bermanfaat bagi kalian. Kalian sudah tenggelam dalam
 iklim fitnah selama selama delapan tahun ini. Itu
 sudah cukup, " ucap Hasan Al-Banna memecah di
 keheningan masjid.
             "Masalah-masalah yang kalian perselisihkan
 sebenarnya sudah diperselisihkan oleh kaum muslimin
 selama ratusan tahun lamanya. Dan mereka masih saja
 berselisih. Meski demikian Allah swt. tetap ridha
 apabila kita saling mencintai dan saling menjalin
 persatuan. Allah swt. benci apabila kita berselisih
 dan berpecah belah. Oleh karena itu, saya berharap,
 kalian bisa berjanji kepada Allah untuk meninggalkan
 persoalanpersoaalan semacam ini sekarang. Lalu kita
 bersungguh-sungguh untuk bersama-sama mempelajari
 dasar-dasar agama dan kaidah-kaidahnya, mengamalkan
 anjuran anjuran agama yang kita sepakati bersama,
 serta kita amalkan kewajiban-kewajiban dan
 sunah-sunahnya sekaligus. Kita tinggalkan sikap
 takalluf (mengada-ada) dan ta'ammuq (terlalu dalam
 menyelami persoalan) agar jiwa kita jernih. Dengan
 begitu, kita semua bisa mempelajari berbagai persoalan
 dalam naungan rasa cinta, saling percaya, persatuan,
 dan keikhlasan. Saya berharap agar kalian dapat
 menerima pendapatku ini dan agar hal ini menjadi suatu
 janji di antara kita," tutur Hasan Al-Banna panjang
 dan mendalam. Semua terdiam. Tampaknya mereka butuh
 contoh konkret atas uraian tadi. Hasan Al-Banna
 kembali menghentak keheningan itu.
             "Siapa di antara kalian yang bermazhab
 Hanafi?" Seseorang mengacungkan jari. "Kemari!"
 "Siapa di antara kalian yang bermazhab Syafi'i?" Satu
 orang lagi maju, mendekat ke guru muda itu.
 "Saya akan shalat dan mengimami kedua saudara kita
 ini," kata Al-Banna kepada jama'ah majelis taklimnya.
 "Apa yang kamu lakukan saat saya sedang membaca
 Al-Fatihah?" tanya Hasan Al-Banna kepada muridnya yang
 mengaku bermazhab Hanafi.
 "Saya akan diam saja dan tidak membaca apa-apa."
 "Saudaraku yang bermazhab Syafi'i, apa yang kamu
 lakukan?"
 "Saya tetap harus membaca AlFatihah!" jawabnya tegas.
             Hadirin mendengar jawaban kedua itu. Hasan
 Al-Banna kembali melemparkan pertanyaan. "Jika kita
 telah
 selesai shalat, bagaimana pendapatmu, wahai saudaraku
 yang bermazhab Syafi'i, tentang shalat saudaramu yang
 bermazhab Hanafi?" "Shalatnya batal karena tidak
 membaca AlFatihah yang merupakan salah satu rukun
 shalat."
             Hasan Al-Banna melontarkan pertanyaan yang
 sama ke murid yang satunya lagi. "Lalu bagaimana
 pendapatmu,
 wahai saudaraku yang bermazhab Hanafi tentang shalat
 saudaramu yang bermazhab Syafi'i?"
 "Ia telah melakukan tindakan makruh yang bersifat
 haram." Mendengar kedua jawaban itu, Hasan Al-Banna
 segera mempertajam pertanyaannya. "Apakah karena
 alasan itu salah seorang dari kalian mengkafirkan yang
 lain?" "Tidak!" jawab keduanya cepat.
             Hasan Al-Banna kemudian berpaling ke
 seluruh hadirin. "Apakah ada di antara kalian yang
 mengkafirkan satu
 dari mereka karena bacaan Al-Fatihahnya?" "Tidak,"
 kata seluruh jamaah majelis taklim tegas.
             "Aduhai, Maha Suci Allah. Kalian bisa diam
 dan memaklumi permasalahan seperti ini padahal ini
 menyangkut sah atau batalnya shalat. Tapi, mengapa
 kalian berselisih tak kunjung usai hanya karena ucapan
 Allahumma shalli `ala Muhammad atau Allahumma shalli
 `ala sayyidina Muhammad dalam tasyahud?"
             Jama'ah majelis taklim itu tercengang. Ya,
 mengapa mereka bisa terjebak dalam perselisihan yang
 tak perlu. Dan logika sederhana guru mereka telah
 membongkar tempurung yang menutupi cakrawala berpikir
 mereka selama ini.
             Malam itu mereka mendapat pelajaran yang
 sangat berharga dari guru mereka, Hasan Al-Banna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar