Selasa, 06 Mei 2014

Kemantapan Iman

Based on wejangan Ummi-nya salah satu sobat.

"Kita itu harus memiliki standar dalam iman (beribadah), standar yang kita miliki juga bukan standar yang biasa. Tapi standar yang diatas rata-rata, yang jika orang menilai itu tinggi tapi menurut kita itu hal biasa dan menjadi habits. Supaya apa? supaya jika kita terjatuh maka tidak akan terlalu jauh jatuhnya, ya setidaknya jatuh ke standar minimal orang kebanyakan"

** 
Menikah itu bukan hanya perkara suka sama suka, sayang sama sayang ataupun cocok sama cocok. Tidak dipungkiri sih hal tersebut menjadi salah satu indikatornya. Tapi perkara yang paling penting ialah sejauh mana kemantapan iman kita. Karena, pernikahan itu bisa menjadi representasi keimanan seseorang. Kutipan diatas merupakan nasihat yang menjadi perkara utama dalam hal memutuskan untuk menikah. Beliau (Ummi-nya sobat) bilang gini "Bayangkan aja kalau iman kita lagi compang-campingnya dengan dibawah standar kemudian datang seorang ikhwan melamar, mungkin bisa jadi keimanan ikhwan tersebut juga sedang compang-camping. Karena apa? Karena pasangan hidup kita kelak adalah cerminan kita. Pun ketika iman kita sedang compang-camping rapuhnya datang seorang ikhwan yang memiliki track record 'soleh', mungkin bisa jadi kita menolaknya dengan banyak alasan (belum punya penghasilan banyaklah, engga membina banyak kelompok-lah, engga keren-lah, tidak sesuai standar fisik kita-lah, dsb) yang pada dasarnya itu bukanlah alasan mutlak untuk menolak seorang ikhwan. Tapi, begitu bahagianya jika iman kita senantiasa dijaga dengan standar-standar luar biasa. Mungkin ketika seorang ikhwan yang melamar kita dan ikhwan itu terhitung sederhana, tapi dengan kelapangan dada kita menerimanya. Karena kita yakin, cerminan iman ikhwan itu tidak jauh beda dengan kondisi kita saat dilamar."

"Belum tentu ikhwan yang selama ini kita anggap keren dengan track record amanah dimana-mana, memiliki kelompok binaan bejibun, rajin ngisi kajian sana-sini, memiliki maisyah bejibun itu menjadi (tetap) keren ketika sudah menikah. Karena kita tidak tau kondisi keimanan mereka seperti apa ketika menikah. Mungkin saja sedang tercabik-cabik."

#plak!
Bagaikan ditampar dengan kata-kata standar iman. Jadi teringat dengan kisah pernikahan Ummu Sulaim dan Abu Thalhah, entah sedahsyat apa kondisi keimanan Ummu Sulaim saat itu sehingga mau menerima pinangan Abu Thalhah dengan syarat keislaman beliau (Abu Thalhah) dan betapa keimanan menjadi landasan cinta mereka dalam merenda rumah tangga, pun dalam Abu Thalhah mencintai Ummu Sulaim.

**
Masya Allah..
Betapa kita selalu dituntut menjaga eksistensi keimanan kita dihadapanNya. Bukan semata-mata hanya untuk mendapatkan jodoh yang baik, tapi untuk menggapai ridhoNya. Untuk apa kita mendapatkan jodoh yang baik (menurut kita) tapi ternyata tidak sesuai dengan ridhoNya? Sehingga selalu datang prahara ketika kita merenda rumah tangga. Na'udzubillah.
Tapi sebaliknya, betapa bahagianya ketika iman kita sedang tahap melonjak-melonjaknya kemudian kita menikah. Maka akan tercipta keluarga yang senantiasa sakinah dalam kondisi apapun, serta mawaddah, warahmatan lil'alamin (keberadaan keluarga kita bermanfaat untuk ummat).  
Masya Allah..

Allah, titipkanlah pada kami hati yang senantiasa lapang. Lapang dengan segala macam skenarioMu. Selapang samudra tak bertepi. Selapang langit yang membentang biru tanpa batas. Bantulah kami menyingkirkan perkara duniawi yang mungkin sudah mengakar pada hati kami. 


Bersama sudut hati yang sedang disusun kembali..
Jatinangor, 7 Rajab 1435 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar